Selasa, 03 Juni 2008


Jazz Impromtu itu adalah Kebudayaan yang Berkejiwaan


Kebudayaan

Inggris: culture; dari bahasa Latin cultura¾dari colere (mengolah, mengerjakan tanah)

Beberapa pengertian

Kebudayaan merupakan seluruh nilai material dan spiritual yang diciptakan atau sedang diciptakan oleh masyarakat selama sejarah.

Kebudayaan semula berarti pengolahan dan pengembangan kemampuan-kemampuan manusiawai yang melampaui keadaan alamiah semata (kebudayaan sebagai pendidikan rohani). Dunia kuno dan Abad Pertengahan menyebut ini sebagai humanitas, serta civilitas. Dalam abad ke-17 dan ke-18 konsep kebudayaan diperluas.

Pada saat ini kebudayaan dipakai untuk mengartikan apa yang manusia tambahkan pada alam, entah di dalam dirinya sendiri ataupun dalam obyek-obyek lain (kebudayaan sebagai jumlah keseluruhan benda-benda kebudayaan). Dengan demikian, kalau alam menandakan apa yang lahir bersama manusia dan apa yang ada di luar dirinya tanpa kerja samanya, kebudayaan mencakup segala sesuatu yang merupakan akibat dari aktivitas manusia yang sadar dan bebas. Bagaimanapun majunya manusia dalam mengembangkan kebudayaan namun pada akhirnya tetap berakar dalam alam; dan kebudayaan menemukan tujuannya yang tepat dalam kepenuhan dan kesempurnaan kodrat manusia; sementara alam merupakan determinan hakiki bagi arah dan luasnya aktivitas kebudayaan. Suatu perkembangan kultural yang bertentangan dengan hakikat manusia, tidak benar, tetapi semata-mata merupakan kebudayaan yang salah.

Istilah kebudayaan adakalanya digunakan untuk merangkum semua ungkapan kreatif manusia dalam semua bidang usahanya. Kadang kebudayaan dibatasi pada ungkapan kreatif dalam bidang artes liberales (pengetahuan humaniora). Dalam arti kedua, istilah ini kadang kala diperluas ke pengembangan kepribadian. Walaupun istilah itu digunakan baru abad ke-18, terdapat anteseden-antesedennya pada zaman Yunani.

Beberapa pembedaan

Tergantung apakah aktivitas kultural tertentu terarah langsung atau tidak pada pribadi manusia dan kesempurnaannya, atau pada obyek-obyek yang ada secara independen darinya, maka dibuat suatu pembedaan antara kebudayaan personal (seperti bahasa, kehidupan komunitas, ilmu, moralitas, agama) dan kebudayaan material (seperti teknologi, seni). Meskipun begitu, sebagaian besar aktivitas budaya sesungguhnya mencakup kedua bidang tersebut. Sementara kebudayaan dalam arti yang lebih luas mencakup baik moralitas maupun agama, dalam arti yang lebih sempit ia berpijak pada keduanya. Dan kemudian kebudayaan menunjuk perkembangan budaya yang terarah kepada tujuan-tujuan di dunia ini. Kebudayaan yang semata-mata material serta eksternal disebut (paling sedikit di Jerman) sebagai peradaban (sivilisasi). Ia berfungsi sebagai landasan kebudayaan rohani, internal. Sejauh peradaban dikembangkan dengan mengorbankan kebudayaan batin, peradaban belum merupakan kebudayaan sepenuhnya dan sesungguhnya bertentangan dengan kebudayaan sejati.

Perlu juga dicatat bahwa hanya benda-benda kebudayaan eksternal dapat diwariskan. Benda-benda budaya ideal dan personal harus diperoleh secara baru oleh setiap generasi. Pemilikan kebudayaan hanya dapat diperoleh sebagai hasil dari uasaha keras. Namun, waktu senggang juga sangat perlu bagi perkembangan umum daya manusia. Waktu senggang jauh lebih dari sekadar waktu bebas belaka. Waktu bebas ialah waktu yang dibiarkan berlalu tanpa kerja. Selanjutnya waktu senggang mengandaikan bahwa kebutuhan-kebutuhan material-pokok dari manusia diperhatikan. Atau, sejauh ini mungkin, waktu senggang mengandaikan manusia secara bebas menentukan untuk tidak memuaskan beberapa diantara kebutuhan-kebutuhan itu.

Kebudayaan semata-mata merupakan hasil kerja sama individu dalam masyarakat/komunitas manusiawi. Dari sumbangan kebudayaan-kebudayaan nasional yang berbeda, muncul suatu kebudayaan manusia umum yang kemungkinannya dokondisikan oleh kemampuan bahasa bagi manusia untuk terus hidup.

Pandangan beberapa filsuf

Plato dan Aristoteles dalam Akademi dan Liseum mendirikan pusat-pusat produksi transmisi bentuk-bentuk kebudayaan dalam arti kedua di atas.

Mashab Zynicisme, ketika beralih dari masyarakat manusia ke alam, menganggap kebudayaan manusia dalam kedua arti diatas sebagai merosot dan rusak. Kaum Stoa membatasi kodrat tanggapan mereka pada masyarakat. Tetapi dalam Stoisme muncul suatu pengertian mengenai kebudayaan dunia. Kita adalah warga alam semesta, dan tidak melulu warga negara-kota kita.

Ideal-ideal kebudayaan Yunani dilestarikan sejak zaman Alcuin, meski Boethius dan lain-lain menempatkan kota itu ke dalam Septem Artes Liberales (Tujuh Mata Pengetahuan Umum) yang terdiri atas Trivium dan Quadrivium. Trivium terdiri atas gramatika, dialektika, dan retorika. Sedangkan Quadrivium meliputi aritmatika, geometri, astronomi, dan musik.

Paham romantik tentang kebudayaan dengan istilah-istilah yang genius, dan penghalusan kepekaan estetik, kabarnya sudah dikemukakan oleh Immanuel Kant dalam Kritik Atas Putusan.

Pidato oleh Herder dilihat sebagai bagian penting dalam perkembangan kebudayaan.

Saint Simon membedakan antara critical epochs (jaman kritis) dan organic epochs (jaman organik) dalam hal perubahan budaya.

Fichte percaya bahwa tujuan manusia ialah mengembangkan suatu kebudayaan dunia etis.

Hegel, dengan mengembangkan ide Roh sebagai tema sentral filsafatnya, menjadikan ide kebudayaan suatu objek yang jauh lebih dperhatikan dibandingkan sebelumnya.

Schlegel memandang vitalitas kebudayaan sebagai tergantung pada campuran ilmu dan kehidupan.

Matthew Arnold merupakan rasul kebudayaan abad ke-19. Dia mengidentikkan kebudayaan dengan kesempurnaan total dan memberinya peran untuk mengatasi kekasaran dan kebuasan masyarakat.

Spengler membedakan kebudayaan dari peradaban. Kebudayaan, dinggap sebagai kemungkinan-kemungkinan vital dari suatu masyarakat. Peradaban dilihat sebagai melulu bentuk lahiriah pencapaian kemungkinan-kemungkinan itu.

Para sosiolog berbeda pandangan mengenai apakah kebudayaan dan peradaban harus dpahami sebagai identik. E. B. Taylor menganggap kedua konsep itu sebagai identik, dan meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, dan adat istiadat. Alfred Weber membedakan istilah-istilah itu. Kebudayaan dipertalikan dengan filsafat, agama dan seni, dan peradaban dengan ilmu dan teknologi.

Plekhanov, dengan mengangkat konsepsi materialis tentang sejarah, berpandangan bahwa produk budaya suatu bangsa tergantung pada substruktur ekonominya.

Huizinga menekankan unsur bermain di dalam kebudayaan.

Sementara itu Van Peursen, mendekati kebudayaan sebagai hal yang lebih pragmatis namun masih dalam wilayah filosofis. Ia mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu bentuk berupa strategi untuk survive dalam hidup. Ia berpijak dengan cara menarik silsilah (matarantai spiritual). Kebudayaan sebagai strategi lahir atau maujud manakala terjadi ketegangan antara yang imanen dan yang transenden dalam diri manusia. Hasilnya adalah 3 sikap kebudayaan yang permanen tetapi bisa berubah-ubah menurut situasinya. Ketiga sikap itu adalah; sikap mitis, ontologis, dan fungsional. Pembagian urutan tersebur memang berdasarkan sejarah kebudayaan manusia. Dimana pertama-tama kebudayaan manusia berupa mempercayai atau mengimani begitu saja apa-apa atau segala sesuatu yang menghidupinya. Seperti misalnya dalam kebudayaan kuno dimana manusia menyembah matahari, pohon, batu, dan sebagainya. Tetapi perkembangan selanjutnya, seperti dalam cerita Ibrahim, yaitu apa yang dia sembah ternyata bisa hilang, maka dengan kemampuan aqliyah-nya, persepsinya yang seperti itu tadi disebut Van Peursen sebagai sikap ontologis. Pada tahap ketiga, sikap kebudayaan Van Peursen disebut sikap fungsional, yaitu sebuah sikap dimana segala sesuatu yang bisa dibuat fungsional untuk memenuhi hidupnya, akan diperlakukan manusia seperti itu.

Hofstede memilih tujuh konsep yang berkaitan dalam kebudayaan; yaitu kepribadian (personality), nilai (value), sikap (attidute), keyakinan (beliefs), stereotip (stereotypes), norma (norms), dan kebudayaan (culture). Menurutnya ketujuh konsep ini bisanya digunakan untuk mendefinisikan mental programming manusia. Secara singkat, yang dimaksud dengan mental programming ialah hal-hal yang ada pada diri seseorang, yang bersama-sama mempunyai pengaruh pada perilaku seseorang. Hofstede melihat ada tiga taraf keunikan dalam pemrograman mental manusia. Pertama, taraf yang universal. Taraf ini dimiliki oleh semua atau hampir semua orang. Kedua, taraf kolektif, yang dimiliki oleh sekelompok orang tertentu, tetapi tidak oleh orang dari kelompok lain. Ketiga, taraf individual, yang dimiliki oleh perorangan secara unik. Dengan pengertian ini Hofstede menggambarkan hubungan diantara ketujuh konsep tersebut menurut derajad kespesifikannya yang relatif satu terhadap yang lainnya, dalam rangka kecenderungan yang lebih individual atau kolekif. Dengan menggunakan kerangka anteseden-konsekuensi, bisa dilihat mana yang paling saling berpengaruh dan mempengaruhinya. Hofstede telah sampai pada kesimpulan bahwa; nilai ternyata lebih spesifik terhadap situasi dibanding dengan kepribadian. Namun ternyata nilai tersebut lebih umum sifatnya dibanding dengan sikap dan keyakinan. Dengan demikan tampaklah bahwa nilai dipengaruhi atau terbentuk oleh kepribadian seseorang dan atau oleh norma-norma kebudayaan. Dengan demikian norma-norma kebudayaan adalah merupakan hal yang sangat kuat mempengaruhi seseorang dalam hal kepribadian, nilai, sikap, keyakinan, stereotip, dan norma. Kesimpulannya ialah konsep-konsep kebudayaan sangat penting untuk digunakan sebagai alat atau tools untuk merinci atau menelusuri matarantai spiritual (silsilah), dari sebuah peradaban.

The future of Subud Growth and Spread

“Daripada kamu memikirkan ketidakbaiknya orang lain, atau keburukan orang lain, rasakanlah dirimu sendiri, bagaimana caramu hidup, supaya hidupmu menjadi baik” (1983-9-15-3).

Ini adalah kutipan dari ceramah Bapak 1983. Saya gunakan untuk membuka wacana tentang pertumbuhan dan penyebarluasan Subud dimasa datang, karena saya merasakan kutipan ini penting, dan karena pada tahun-tahun itu, yaitu hampir diseluruh ceramah Bapak di tahun 1983 selalu dianjurkan untuk enterprise. Jadi enterprise bukan untuk orang yang berbakat dagang atau usaha saja, melainkan harus dijalankan oleh seluruh anggota Subud secara gotong royong, bersama-sama, dan dalam kerukunan. Dalam 11 ceramah Bapak di tahun 1983, hampir selalu disisipkan contoh kenyataan tentang S. Widjojo Center. Contoh kedua yang selalu digambarkan ialah tentang rencana akan dibangunnya sebuah hotel lima ster di bilangan Kuningan, yang sekarang menjadi Hotel Regent. Terus terang, membaca ceramah Bapak tahun 1983 membuat saya prihatin, dan mungkin dalam hati menangis. Betapa kecewanya Bapak, karena apa yang beliau impikan ternyata tidak menjadi kenyataan. Tanah tersebut, hotel tersebut dimiliki oleh orang bukan Subud. Mengapa beliau pasti kecewa? Karena di setiap kota dimana beliau beceramah pada tahun itu (1983), entah itu di Cilandak, atau di Bogor yang tentunya dihadiri juga anggota-anggota dari Surabaya, Semarang, Solo, Bandung, ataupun Bogor, beliau selalu mengingatkan; “Kenapa untuk pertemuan kita ini kok harus sewa? Seandainya anggota Subud mau sedikit-sedikit berusaha, maka pasti bisa terwujud sebuah tempat latihan sendiri yang layak. Coba kalau di kota ini ada Hotel dengan lima ster, punya siapa hotel ini? Punya orang Subud!

Tahun 1983, bapak bermimpi untuk Subud memiliki hotel lima ster. Dan ini agar diusahakan oleh anggota Subud. Nah sekarang mampukah kita sebagai orang-orang yang mendapatkan kemurahan latihan kejiwaan turut mewujudkan cita-cita Bapak? Membangun hotel lima ster di kota-kota besar? Barangkali kita bisa memulai dari Jakarta, yaitu bagaimana caranya Hotel Regent bisa kembali menjadi milik Subud. Dibeli lagi? Bisa! Dengan cara lain? Bisa!

Enterprise merupakan titik sentral dari hampir setiap ceramah Bapak. Mengapa itu penting? Rupanya, enterprise adalah sebuah landasan untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan Subud yang oleh Bapak telah ditegaskan kembali dalam ceramah bapak di Anugraha, London, 9 Agustus, 1983: “Jadi terang saudara-saudara sekalian, bahwa tujuan Subud yang sebenarnya ialah untuk mensejahterakan rakyat, untuk memperdamaikan rakyat dunia, bukan sesuatu bangsa.”

Dasar dari enterprise adalah Zat, Sifat, dan Asma. Zat artinya kuasa, kuasa tidak akan dapat dilihat, tidak akan dapat dimengerti oleh orang lain, kalau tidak ada sifatnya.

Sifat belum juga dapat dipercaya oleh orang lain kalau belum ada asmanya.

Asma belum juga, masih belum dapat dipercaya kalau belum ada Afa’lnya, kenyatannya.

Mendirikan enterprise memang sukar. Kalau ada sukar tentu ada gampang. Bagaimana caranya gampang? Dandani dulu dirimu! Dirimu supaya jadi diri seseorang yang penuh dipercaya oleh orang lain. Ini dalam lahirnya orang telah dapat nama baik dalam masyarakat manusia. Kalau orang sudah dapat nama baik dalam masyarakat manusia, ooooo, sudah saudara, bukan saudara cari uang, uang cari saudara. Ini telah beberapa kali Bapak katakan inilah afa’al daripada latihan kejiwaan Subud. Semuanya harus dicari tapi dengan tenaga, dengan bekerja.

Karena itu Susila artinya seluruh peradaban manusia, peradaban makhluk. Budhi di dalam diri manusia adalah sebagai petunjuk, pemimpin, guru. Dharma artinya menyerah, karena itu maka didaharmakanlah. Kepada siapa? Kepada Tuhan!

Bapak tidak menyuruh mbrangkang! Apa kodok, kok mbrangkang. Manusia ada akalnya. Lha, ini. Gunakanlah akalmu di dalam akhlakmu, di dalam ingatanmu, supaya kamu dengan itu dapat mempercepat perjalananmu menuju ke tempat mana yang kamu kehendaki. Maka jangan banyak eker-ekeran, jangan banyak omongan, tetapi kerjakan. Tahu-tahu jadi, tahu-tahu dipercaya oleh orang. Itu saja.

Jadi terangnya, saudara sekalian, apa yang telah ada di dalam agama Islam, atau di dalam latihan kejiwaan Subud ini, tidak perlu kita mendahulukan pengaruhnya, yaitu menghendaki supaya anggota-anggota itu bisa banyak atau memperbanyak anggota-anggota, itu tidak perlu dulu. Yang penting, yang penting kita harus sedikit-sedikit dapat memberi teladan kepada umum. Jadi kebaktian kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pengakuan kita yang Subud, Susila Budhi Dharma, dapat diwujudkan dengan nyata sehingga orang percaya baik lahir maupun batin.

Karena itu, saudara sekalian, maka apa yang telah Bapak dengungkan: enterprise itu penting dan perlu sekali bagi saudara sekalian, mengingat kebutuhan kita persaudaraan. Persaudaraan Susila Budhi Dharma, tidak akan diterima oleh masyarakat agung, masyarakat umum, masyarakat besar, sebagai sesuatu pendirian yang benar-benar memikirkan, merasakan kebutuhan rakyat dunia. Oleh karena itu sangat dibutuhkan sekali, agar kita di dalam Subud ini, peraudaraan Subud ini, berpendirian, atau isi di dalamnya benar-benar, yaitu sesuatu yang dikatakan sosial. Boleh ditambahkan sosial demokrat. Tetapi yang pertama sosialnya.

Inilah saudara sekalian, gunanya latihan kejiwaan Subud ini, apabila saudara-saudara benar-benar dapat meratakan. Bapak merasa tidak mungkin karena Bapak ini orang satu tidak bisa meratakan; karena itu maka Bapak menyalurkan ini kepada sekalian saudara-saudara, agar dari saudara-saudara ini nanti yang bertindak, yang melakukan, sariatnya, berikanlah contoh saudara-saudara, contohnya. Saudara-saudara sendiri harus dapat memperbaiki dirinya sendiri. Kalau saudara sendiri belum kelihatan baik, belum menunjukkan kebaikannya, belum menunjukkan tingkah lakunya yang utama, bagaimana bisa diturut, bagaimana bisa menarik orang lain.

Hakikat hanya bisa dicapai lewat sabar, tawakal, dan ikhlas. Sabar artinya jangan ada rasa kecewa, jangan ada rasa iri, jangan ada rasa membanding-bandingkan dengan ini dan itu umpamanya. Tawakal artinya andaikata terjadi apa-apa, apa yang telah dilihat, apa pula yang telah didengar, dan apa pula yang telah dirasakan, itupun juga jangan dipedulikan selain diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, artinya diserahkan lagi seperti tadi, hanya Tuhan Yang Maha Esa. Lantas ikhlas, arti ikhlas apabila terjadi kadang-kadang saudara pada saat akan melakukan latihan, ingat kepada saudaranya yang krisis, upamanya begitu, sehingga kuatir-kuatir nanti aku krisis dan sebagainya, juga tidak perlu dirasakan demikian. Jadi saudara yang sungguh-sungguh mantap, sungguh percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada lain, artinya ikhlas.

Jadi manusia itu bikin kesalahan bagi dirinya sendiri, inilah saudara-saudara sekalian, maka pentingnya orang bakti kepada Tuhan, apalagi pentingnya latihan kejiwaan Subud ini yang manusia sedikit demi sedikit akan dapat tahu bagaimana salahnya dirinya sendiri, karena itu saudara akan dapat tahu apa salah tindakannya. Saudara akan dapat tahu benarnya tindakannya, saudara akan dapat tahu bagaimana saudara itu sebenarnya, inilah namanya manusia, manusia dari kata-kata tritunggal: tiga kata-kata: rasa, rahsa, dan kuasa, yaitu Subud, Susila Budhi Dharma.

Jadi Susila itu apa yang telah menjadi olah tingkah manusia, Budhi adalah kekuasaan, adalah guru di dalam diri saudara sekalian, itu akan tercapai apabila saudara Dharma kepada hidupnya atau Dharma kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu menyerah sungguh-sungguh, tawakal, dan ikhlas.

Jadi ceramah Bapak ini, saudara sekalian, kecuali mengenai agar saudara lebih terang menerimanya, juga supaya saudara rukun. Rukun antara pembantu pelatih, yang tua dengan yang muda, pembantu pelatih tua muda dengan para pengurus yang tua yang muda, dan rukun pula dengan anggota-anggota yang tua dan yang muda.

Apa sebab sehingga sekarang ini saudara-saudara yang masih muda Bapak jadikan, Bapak tunjuk sebagai pembantu pelatih? Agar memiliki perasaan, bahwa tidak adan bedanya saudara, antara pembantu pelatih, pengurus, dan anggota. Dan tidak ada bedanya pula antara yang tua muda, dan tiga golongan atau tiga bagian itu. Jangan ada sangka, jangan ada kira, atau jangan ada perkiraan, bahwa kalau sudah lama, lebih dapat menerima atau lebih faham tentang Subud. Tidak, saudara. Yang faham tentang Subud itu hanya satu: Tuhan yang Maha Esa. Sedangkan saudara sekalian di dalam hidupnya di dunia ini dapat dikatakan dalam perjalanan. Dalam perjalanan menuju ke hidup sesudah mati.

Jadi terang saudara sekalian, baha Tuhan menciptakan manusia benar-benar konsekuen, cocok dengan kata-kata Subud, artinya: jumbuh. Karena itu, maka pikiran dan hati itu tidak boleh dipercaya. Sekarang katanya, iya, besok sudah lain. Jadi rasa yang menjadi dasar. Oleh karena itu, maka walaupun itu bukan sesuatu yang sama dengan kebiasaan manusia hidup di dunia, toh dapat kita rasakan. Ini. Jadi semua itu konsekuen, saudara. Sesuatu ilmu yang tidak bisa dirasakan kenyataannya, jangan diikuti. Itu khayal namanya.”

Kutipan-kutipan ceramah diatas saya ambil dari ceramah Bapak tahun 1983 yang dikumpulkan menjadi buku ceramah seri 9. Kumpulan tersebut sengaja saya kutip secara acak menurut penerimaan saya saat itu. Menurut saya, dalam ceramah Bapak sepanjang tahun itulah terlatak dasar-dasar budaya yang legal dan otentik. Tahun-tahun itu sepertinya mengandung sebuah harapan tetapi juga keadaan was-was bahwa apa yang menjadi cita-cita Bapak belum tentu bisa terwujud. Oleh karena itu dalam sepanjang tahun 1983, ceramah Bapak seakan berisikan sebuah wanti-wanti yang disertai semangat hendak mewariskan estafet kepemimpinan kepada para pembantu pelatih. Initinya bisa kita petik sebagai pasemon yang mestinya generasi waktu itu bisa tanggap ing sasmita terhadap apa yang dituturkan oleh Bapak dalam ceramah-ceramahnya tadi. Berikut ini, saya kutipkan lagi ceramah bapak di Aula Biotrop Bogor, 24 Maret 1983:

Jadi kalau saudara dikasih pacul sama Tuhan itu jangan ditinggalkan diam saja paculnya, untuk disembah-sembah. Jangan! Kerjakan sesuatu dengan pacul itu. Apa artinya pacul ini? Jadi terangnya kalau sudah tidak mengerjakan segala sesuatu di dalam diri saudara, saudara tidak akan mengerti kehendak Tuhan pada diri saudara-saudara sekalian. Siapa kira, Pele dengan kakinya dapat honorarium tidak sedikit, sampai 5-6-7 juta dolar. Kakinya, kaki saudara, dapat apa? Dicatek asu?

Jadi kalau benar-benar ini saudara-saudara kerjakan, saudara-saudara akan tahu hikmahnya, tahu manfaat. Inilah hasil daripada latihan kejiwaan Susila Budhi Dharma.

Kira-kira sudah 20 tahun saya tunggu kok diam-diam saja. Kalau saudara latihan cuma ngek-ngok-ngek-ngok teruuus. Ya wis latihan ya sudah latihan, ya sudah benar-benar latihan, tapi kok ora isi-isi latihane. Jadi saudara itu ibarat nanem pohon sudah 20 tahun belum keluar buahnya. Kok ora keluar, mbok yo .... kuwi dudu, kumi lowo kuwi. Sing obah-obah iku lowo karo kalong.

Frase diatas tersebut menggambarkan betapa Bapak merasa lama sekali menunggu buah latihan dari orang-orang. Kerisauan, kegundahan, kekecewaan, dan mungkin juga kemangkelan, kenapa masih juga harus disandang oleh Bapak yang usianya juga sudah 83 tahun? Apa yang salah dalam latihan kejiwaan? Apa kurangnya keterangan-keterangan yang dituturkan Bapak dalam ceramah-ceramahnya? Pertanyaan ini siapa yang wajib menjawab? Yang berhak menjawab? Setiap orang Subud!

Saya sangat setuju dengan gagasan Pak Haryono tentang kebudayaan dalam Subud. Memang Subud adalah individu manusianya. Dengan demikian jikalau ada sejuta anggota Subud maka akan ada sejuta kebudayaan, tetapi itu kebudayaan individu. Tidak mungkinkah ada kebudayaan kelompok atau dalam hal ini adalah kebudayan Subud. Mengapa kita harus takut untuk mengangkat isu tersebut?

Kebudayaan berasal dari kata budaya, mendapat awalan ke, dan akhiran an. Budaya artinya budhi (tembung aran, dudu budi kang ateges tembung wasesa), nalar, angen-angen, panemu.

Kabudayan ateges: wohing budaya, wedaring budaya, babaring nalar pambudi, wohing pangolah lakuning utawa dayaning budi.

Jadi terangnya kebudayaan yang berkejiwaan adalah merupakan wohing pambudi yang memiliki jiwa atau memiliki ruh. Pambudi dalam bahasa Indonesia barangkali bisa diterjemahkan sebagai kebiasaan melakukan secara terus-menerus. Kebiasaan yang dilakukan terus menerus akan melahirkan budaya. Orang yang terus-menerus proaktif akan memiliki budaya proaktif, sedangkan orang yang selalu reaktif akan memiliki budaya reaktif. Jadi kebudayaan boleh juga disebut sebagai kebiasaan yang sudah mendarah daging.

Apa perlunya kebudayaan dalam sebuah komunitas, jika ia sebagai wohing laku dan dayaning pambudi? Kebudayaan secara intrinsik adalah sebuah wahana untuk membangun sebuah dinamika organisasi, baik dalam bentuk sederhana seperti keluarga, trah, desa, negara, maka lalu ada pepatah yang berbunyi: “ desa mawa cara, negara mawa tata” yang artinya untuk mengatur desa ada caranya tersendiri, dan untuk mengatur negara ada cara menatanya sendiri. Artinya setiap keadaan atau jaman, dan bagian dari komunitas memerlukan budaya tersendiri untuk mengatur dan menatanya. Dengan kata lain organisasi sekecil apapun diperlukan budaya untuk menata dan mengatur kehidupan agar cita-cita organisasi tersebut bisa tercapai. Dengan demikian sesungguhnya kebudyaan diperlukan sebagai alat untuk menunjukkan arah dan mewujudkan cita-cita dari sebuah komunitas.

Dengan demikian kebudayaan mempunyai daya untuk mempengaruhi sebuah gerakan ke arah apa saja yang diinginkan. Akan tetapi, kebudayaan yang dikatakan memiliki nilai tambah bagi organisasi jikalau ia mengemban dan melaksanakan hukum tabur-tuai dan membuat organisasi itu kreatif, produktif, dan efektif. Kreatif, produktif, dan efektif artinya organisasi tersebut mempunyai banyak gagasan, banyak tindakan, dan berhasil guna. Dalam bahasa hukum tabur-tuai bunyinya adalah: “menabur gagasan¾menuai tindakan, menabur tindakan¾menuai kebiasaan, menabur kebiasaan¾menuai keberhasilan. Inti pokok dari gagasan ini adalah bahwa kebudayaan harus diciptakan untuk mendorong dinamika organisasi agar berjalan melompati kuantum pertumbuhan.

Budaya menggunakan waktu misalnya, ternyata mempunyai dampak yang sangat besar terhadap perubahan kehidupan manusia. Dari sejak pertama ditemukan manajemen waktu pada tahun 50-an hingga 50 tahun kemudian, yaitu di akhir abad 20 telah lahir manajemen waktu generasi keempat. Tetapi mengapa masih banyak orang yang menngunakan manajemen waktu generasi pertama? Itulah masalahnya.

Kebudayaan memiliki kausalitas dan kekhasannya masing-masing. Tergantung genre apa yang melahirkannya dan untuk apa. Namun dalam alam yang semakin moderen, dimana wacana kesejagatan telah melumpuhkan segi-segi humanitas, maka humanitas itu sendiri tengah tergagap-gagap mencari ruang untuk bermetamorfosa. Humanitas tidak lagi dipandang sebagai wacana yang harus disikapi dan dibenihkan sehingga suatu waktu bisa menghasilkan sebuah tatanan kehidupan yang lebih sosial demokrat, tetapi sekarang ini justru tengah tercarut ke dalam ambiguitas yang tak jelas sebab-musababnya. Barangkali saja jika kita boleh menggunakan pendekatan fenomenologi, maka ambiguitas tersebut terjadi karena umat manusia tak lagi mampu berperan sebagai aktor, melainkan sebagai reaktor. Ujung-ujungnya, orang lalu saling menuduh tanpa tahu apa yang dituduhkan. Orang saling mengadili, tanpa tahu apa yang harus dibuat adil. Pendek kata, kegagapan spiritual tak bisa lagi bisa diobati dengan syair dan nyanyian para sufi, ia hanya bisa dikalahkan oleh kekuasaan Tuhan. Tetapi mengapa Tuhan tak jua turun tangan menuntuaskan persoalan dunia?

Berkaitan dengan cita-cita Subud untuk mensejahterakan rakyat dan mendamaikan bangsa sedunia, maka jika Subud tak memiliki budaya yang kuat, ia akan sama saja dengan isme-isme lain yang gagal menggenggam dunia. Betapapun suci niat kita, dan betapapun mulianya tujuan kita, bila kita tak kenal budaya kita sendiri, mana mungkin kita bisa mengukur sejauh mana kita akan berperan. Polarisasi antara Susila dan Budhi seharusnya melahirkan ketegangan yang justru perlu untuk kita kreatif menemukan cara bagaimana seharusnya kita bertindak. Barangkali saja selama ini kita belum bisa menemukan apa budaya yang cocok untuk kita. Sesungguhnya, kebudayaan hanya bisa lahir atas sebuah kebutuhan untuk berubah, untuk pembaharuan, dan untuk pertumbuhan. Pertama-tama kita perlu bertanya kepada diri sendiri: perlukah kita berubah, perlukah kita melakukan pembaharuan, dan perlukah kita tumbuh? Jika jawabannya ya, maka selangkah lagi kita perlu menggali sumber inspirasi yang mampu menjadi pendorong, semangat untuk berubah, dan arah yang ingin dituju. Dengan demikian kita memerlukan seorang pemimpin yang tak hanya bisa menunjukkan arah mana yang mesti ditempuh, tetapi juga mampu menjelaskan dengan apa menempuh arah itu. Intisarinya adalah perlunya organisasi yang visioner untuk tetap survive dalam kondisi yang sekacau apapun dengan semangat tim. Inilah yang diimpikan oleh Bapak. Sebuah keadaan kehidupan yang rukun diantara anggota Subud, yang mempunyai enterprise yang berhasil sehingga bisa menjadi contoh bagi orang lain, bagi masyarakat besar, bagi masyarakat agung. Dengan demikian kebudayaan Subud perlu dirumuskan untuk diwujudkan menjadi kenyataan. Kebudayaan tersebut jangan sampai justru menjadi batu sandungan ataupun rantai belenggu yang sulit kita lepaskan. Maka perlu suatu penyelaman ke dalam dasar citra yang sudah digariskan oleh Bapak.

Saya melihat bahwa budaya Subud mempunyai 3 pilar utama kebudayaan yaitu: Kedaulatan Illahi, Kedaulatan Alam Semesta, dan Kedaulatan Akal Pikiran.

Kedaulatan Illahi adalah sebuah kodrat atau kekuasaan Tuhan yang makarti di dalam diri manusia. Kekuasaan Tuhan yang makarti di dalam diri manusia sifatnya mutlak, tidak bisa ditawar-tawar. Tetapi kemewujudan kekuasaan Tuhan tersebut, (tanazzul, Turunnya Wujud dengan Penyingkapan Tuhan, Ini adalah turunnya Yang Mutlak dari Kegaiban ke Alam Penampakan melalui berbagai tingkatan perwujudan), tanpa diikuti oleh usaha manusia, maka tidak akan menghasilkan buah apa-apa. Inilah inti dari latihan kejiwaan.

Kedaulatan alam semesta adalah kekuasaan daya-daya yang ada di dalam alam semesta. Ia berupa daya-daya rewani, daya-daya nabati, daya-daya hewani, dan daya-daya manusia. Kekuasaan daya-daya ini sebenarnya hanyalah sebagai pembantu manusia, tetapi karena kelemahan manusia maka manusialah yang dijajah oleh daya-daya ini. Karenanya kedaulatan alam semesta mestinya hanyalah sampai pada batas sebagai pembantu manusia untuk baktinya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kedaulatan akal pikiran merupakan kecakapan aqliyah atau kemampuan akal pikiran untuk mengubah benda-benda alam menjadi benda kebudayaan. Disini terkandung hakikat: “yang mengetahui yang lain adalah bijaksana¾yang mengerti dirinya sendiri adalah cerah”. Inilah dasar dari segala enterprise.

Kendati hati dan akal pikiran adalah sumber nafsu, jika telah dibimbing oleh kekuasaan Tuhan maka ia bisa menjadi sumber ilmu, yang berarti adalah sumber kebijaksanaan dan sumber pencerahan. Sehingga kearifan bisa dicapai dan manusia tiada lain adalah utusan Tuhan yang kembali ke segala ciptaan dengan cinta, dengan kemurahan, dengan kehormatan, dan dengan kemuliaan.

Tritunggal tersebut adalah merupakan sumber inspirasi dan sumber pencarian bagi Sang Penempuh Jalan Spiritual. Di dalamnya terkandung beribu-ribu tangga kenaikan menuju Sang Sumber. Di sana juga ada seribu rembulan, yang berarti juga seribu matahari. Ia adalah lintasan-lintasan para pengembara, yang dengannya Tuhan coba membangkitkan kesadaran lewat latihan kejiwaan. Susila Budhi Dharma sebenarnya telah mengajarkan adab yang sempurna bahwa hamba tetaplah hamba, dan Tuhan tetaplah Tuhan. Berikut adalah prasetya saya sebagai murid Susila Budhi Dharma:

Aku ini milik Tuhan dan selalu mengabdi pada kehendak Tuhan.

Aku tidak akan memiliki yang berlebih, segala yang berlebih akan aku kembalikan kepada Tuhan melewati alam dan kebudayaan, dengan kesadaran bahwa aku harus dermawan di dalam pikiran, dalam perasan, dalam jiwa, dalam perkataan, dan dalam perbuatan.

Aku setia pada hati nuraniku.

Aku setia pada jalannya alam.

Aku hidup dengan menjunjung tinggi dan selalu terlibat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan.

Tidak ada komentar: