Senin, 02 Juni 2008


Campur Sari

Dualitas sosiobudaya di Indonesia telah terinisiasi sejak zaman imperial. Dua sistem sosial: moderen dan “alamiah” [menghindari istilah tradisional] hidup berdampingan. Tetapi uniknya, kedua sistem tersebut tak berkomunikasi apalagi berhubungan secara fungsional. Kedua sektor tadi seakan-akan hidup dengan dunianya sendiri-sendiri. Sektor modern dari dan untuk Orang Luar [kolonial], dan sektor alamiah [pribumi] bekerja terpisah-pisah mengikuti kehendak sejarah lokal.

Anehnya, meski tak berhubungan secara fungsional, dualitas sosiobudaya tadi telah mampu melahirkan budaya feodalisme yang sangat kental, meski pada awalnya masih bersifat kedaerahan. Bahkan, aliran feodalisme tersebut semakin menjadi besar manakala sektor moderen [baca pemerintahan] semakin memekarkan birokrasi. Birokrasi menjadi rumah sekaligus pasar untuk tumbuhnya budaya feodalisme [yang nantinya menjadi tempat persemaian KKN].

Indonesia normatif vs Indonesia Nyata

Oleh sebab-sebab yang sama pula, dualitas sosiobudaya terlanjutkan pada Zaman Kemerdekaan. Sektor moderen yang ditinggalkan kaum kolonial diisi oleh kalangan terdidik pribumi yang berkesempatan mengecap pendidikan moderen di sekolah-sekolah elite Pasca Polotik Etis 1903. <>Indonesia versi mereka adalah Indonesia-normatif, Indonesia versi agen dan sekaligus pasien kebudayaan. Mereka berkiprah terutama lewat sektor Negara, yaitu: birokrasi, militer, badan dan jawatan milik Negara yang dinasionalisasi. Namun apa lacur, karena nasionalisasi hanya terhenti sebatas tataran struktur politik; [pribumisasi, nasionalisasi struktur peninggalan Jepang dan Belanda] tertinggal atau senjang pada tataran kultur.

Blue print perubahan di Era Kemerdekaan tetap merujuk pada kultur kolonial yang, diketahui berjarak senjang dari makna dan pemaknaan anak-anak negeri sepanjang zaman. Ini terbukti dari peran aktif sektor moderen berupa penyingkiran segala bentuk lokalitas [nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, hukum, pranata sosial, religi, agama, persekutuan, ulayat] dari Sistem Hukum Nasional [SHN]. Bukan bualan jika SHN Zaman Kemerdekaan lebih kolonialistik dibanding sistem hukum Kolonial Belanda. Akibatnya proses evolusi sosiobudaya secara nasional kalau tidak terbelokkan maka juga tersumbat atau terkacaukan. Masyarakat lokal dan lebih-lebih sektor alamiah tak lebih dari tamu di negeri sendiri. Evolusi sosio budaya lebih tragis lagi, ketika peranan perantara yang pernah dimainkan oleh golongan Asia Timur pada Zaman Kolonial justru absen pada zaman kemerdekan. Meski kelas menengah tumbuh cukup signifikan, tetapi mereka lebih menjadi konglomerasi baru.

Merekalah yang lalu berkuasa di bidang industri dimana masyarakatnya lebih mengutamakan “keseiasekataannya” [patembayatannya] sehingga “patembayatannya” menjadi unsur utama ikatan kemasyarakatannya. Pada masyarakat industri, masalah yang diutamakan adalah ’patembayatannya’ [bersepakat/bersekutu seia sekata] yaitu pasar industri yang diutamakan. Maka ikatan kemasyarakatannya adalah derivatif dari serba kepentingan.

Pola komunikasi yang bekerja selama itu hanya searah: dari negara kepada rakyat, dari nasional ke lokal, dari normatif ke realita, dari moderen ke alamiah. Gagasan keindonesiaan yang diterima di tingkat lokal, praktis hanya Indonesia-normatif atau Indonesia-ide, bukan Indonesia yang sebenar-benarnya. Sebaliknya, umpanbalik dari lokal ke nasional, dari empiris ke teori, dari realita ke norma, tersumbat oleh struktur sosial yang invalid [dual]. Media massa misalnya, lebih efektif berperan sebagai corong ideologis sektor moderen [dahulu pemerintah, sekarang pasar] kepada rakyat, ketimbang alat kontrol sosial atau panggung apresiasi publik. Apa yang sesungguhnya terjadi adalah pengerdilan diri nasional. Di satu sisi terus-menerus mengisi ruang yang terlalu sesak, di sisi lain membiarkan ruang kosong makin hampa. Anomali berkepanjangan pasca Soeharto pun berakar pada disfungsi komunikasi sektor moderen dengan sektor alamiah. Sektor moderen seperti berhalusinasi menafsirkan keadaan. <>

Sektor moderen asyik dengan dunianya sendiri yang menyempit oleh belenggu modernitas pinggiran, yaitu konsumerisme dan ekonomisme.
Tendensi itu memperdalam kejatuhan, memperlancar periferalisasi Indonesia. Patut dicatat, relisiensi [daya kenyal, daya pegas] sektor alamiah yang menyangga Indonesia sehingga terhindar dari kebangkrutan pasca Soeharto. Pada saat Indonesia menuju sampai kepada puncak kehancuran ekonomi [1996-1997] ternyata usaha mikro tetap berkibar bahkan menjadi daya penopang perekonomian nasional yang begitu kokoh. Ribuan kelompok usaha bersama dan ratusan institusi keuangan mikro yang tak pernah mendapat sentuhan kebijakan pemerintah [baca; subsidi] justru bebas dari KKN dan benar-benar mengangkat harkat serta derajat dan mewujudkan kesejahteraan wong cilik.

Media sebagai corong kapitalisme

Perilaku media terutama televisi lima tahun terakhir pasca Soeharto menjadi cermin. Televisi baru, asyik mengeksplorasi realitas pusat kota [baca: Jakarta], realitas modernitas pinggiran [baca: konsumerisme], atau realitas pasien kebudayaan [baca: selebritis]. Lihat saja acara-acara televisi yang lebih gencar memasarkan produk-produk konsumerisme kelas atas daripada hasil-hasil kreativitas masyarakat kecil. Realitas Indonesia di balik gunung, di lembah, di padang rumput, di tengah hutan, di tengah laut, di setiap tempat yang kaya makna dan magis tak pernah disingkap. Realitas Indonesia belum terkuak, dan karenanya Indonesia belum menemukan jendela pesona diri dan dunianya. Disfungsi komunikasi sektor moderen vs alamiah penting segera diatasi. Sektor moderen yang menguasai infrastruktur material harus dibantu agar dapat menyandarkan diri pada realitas Indonesia. Sebaliknya sektor alamiah yang kaya ide dan perspektif penting didorong mengorganisir diri, sehingga menemukan kambali élan vital-nya. Kekuatan sektor moderen [infrastruktur] mesti dipersambungkan dengan kekuatan sektor alamiah [ide dan perspektif].

Fenomena “Campur Sari” dalam berkesenian adalah teladan aktual. Di situ, modernitas dan “naturalitas” berkolaborasi mencuatkan ragam atau perspektif baru yang terbukti dapat diterima publik secara meluas [meski baru terbatas orang Jawa?]. “Campur Sari” tampil sebagai model komunikasi yang rekonsiliatif dalam lapangan kesenian, melunakkan kontras dan mendekatkan sentimental unsur dual, yaitu modernitas dan naturalitas. Model “Campur Sari” ini dapat diadopsi sebagai upaya memecah kebekuan pada lapangan kebudayaan yang lebih luas.

Jika proses Menjadi Indonesia diasumsikan sangat ditentukan oleh dinamika sektor moderen, dan jika sektor moderen merupakan arena hegemoni yang selalu terbuka sepanjang zaman, maka hegemoni dapat menjadi salah satu strategi pokok mendorong tumbuhnya “campur sari” kebudayaan Indonesia. Kekayaan ide dan perspektif di sektor ‘natural” yang sebagian besar mungkin telah berantakan atau terkoyak-koyak, mestilah diusung memasuki arus utama wacana di sektor moderen. Struktur perantara [intermediary structure] diperlukan sebagai “mak comblang” atau komunikator untuk: mengenali, menggali, merekonstruksi, menganalisis, menulis, menceritakan, memberitakan, mengartikulasikan, mengkritik, mengapresiasi, mengemas, dll. Pada tataran praksis, tugas ini sebenarnya relatif sederhana, yakni merajut kolaborasi sistem media [cetak dan elektronik] dengan sistem pegiat [LSM. CSOs] yang bergerak di sektor “natural”. Kolaborasi ini sangat menjanjikan. Banjirilah sektor moderen dengan fakta dan realitas Indonesia. Di sana ada pesona, merangsang orang beranjak dari Indonesia-norma ke Indonesia-Nyata, MENJADI INDONESIA. <>

Sementara ini masyarakat luas tengah berjuang untuk sebuah keadilan.
Bagi mereka, masyarakat yang berkeadilan merupakan tantangan masa lalu, kini, dan yang akan datang. Kesempatan memperoleh sumberdaya untuk mengembangkan kemampuan, akan memberi peluang bagi setiap warga negara untuk mencapai cita-cita tersebut. Persoalannya, kesempatan, pemanfaatan, dan pengendalian sumberdaya tadi masih sering didominasi oleh kelompok tertentu berdasarkan gender, golongan, agama, ras, atau etnik tertentu. <>

Sementara itu globalisasi secara sangat signifikan telah mempengaruhi kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan media, menjadi salah satu di dalamnya.
Celakanya mainstream media yang saat ini berkembang dan dikembangkan dengan cara-cara yang sangat patriarkis dan monolog, telah mengembangkan pula nilai-nilai kekerasan, sentralisasi, dan senantiasa berorientasi pada kepentingan penguasa atau pengusaha dalam mempertahankan status quo, dan menciptakan opini publik secara sepihak dan tidak berpihak kepada rakyat.

Oleh karena itu sudah sangat mendesak dan perlu dibangun paradigma baru dan cara-cara baru yang mampu untuk menumbuhkan inventivitas dalam mengembangkan karya-karya, nilai-nilai, atau gagasan-gagasan, yang merangsang memampukan manusia berdialog, berdebat, dan berkreativitas dengan membebaskan diri dari belenggu nilai-nilai patriarkhis.
Maka perlu digali idiom-idiom, paham, visi, arah, dan semangat kemasyarakatan dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta kebajikan-kebajikan warisan budaya dan peradaban bangsa untuk dijadikan roh pengembangan pemikiran sehingga terjadi interaksi yang kreatif yang mewujud dalam bentuk strategi kebudayaan sebagai usaha proaktif dalam merespon ketegangan antara yang imanen dan yang transenden. Bagaimana kita tahu bahwa kita sedang ada di jalan yang benar dalam memajukan keadilan di negeri ini?

Pertama, jika kita serius akan mengemban tugas memajukan masyarakat yang lebih adil sampai tuntas, maka kita mau tidak mau harus menghadapi salah tangkap, peneroran, perlawanan, permusuhan, dan pengejaran, dalam bentuk apapun.

Kedua, kita harus benar-benar memberikan pendidikan yang seimbang demi keadilan bagi kaum miskin maupun bagi orang yang sudah mapan.

Ketiga, kita mesti menentukan tolok ukur untuk menilai organisasi kita dalam kaitannya sebagai tempat belajar dan pembelajaran, dengan kebijakan khusus pemerintah, serta norma-norma dan nilai-nilai yang tertulis maupun yang tak tertulis yang ada di dalam masyarakat kita. Tolok ukur tersebut adalah:


Pertama, kebutuhan-kebutuhan kaum miskin lebih diprioritaskan daripada kebutuhan-kebutuhan orang kaya.

Kedua, kebebasan kaum lemah lebih diprioritaskan daripada kebebasan kaum kuat.

Ketiga, partisipasi kelompok tersisih dalam masyarakat lebih diprioritaskan daripada pelanggengan tertib yang menyebabkan mereka tersingkir. Sebagian besar rakyat Indonesia mempunyai pengalaman hidup pas-pasan selama bergenerasi-generasi. Yang lebih menyakitkan lagi adalah bahwa mereka mengalami hidup yang serba kekurangan justru di jaman yang sudah semoderen ini, pada situasi perkotaan dan perkembangnya industri dewasa ini. Jika diantara mereka ada yang mampu menemukan tujuan, martabat, cinta kasih, dan kegembiraan, yang tidak lain adalah “hidup yang baik”, itu berarti masih ada harapan bagi kita untuk meretas jalan ke arah kemajuan. Jika kita dapat mengerti bagaimana mereka telah berbuat demikian, kita bisa menggunakan kebijaksanaan mereka sebagai bahan belajar dan pembelajaran.

Dalam masyarakat kita, banyak sekali contoh mengenai orang-orang yang perjuangannya sehari-hari guna mempertahankan hidupnya dibela dengan tekad dan keberanian sedemikian sehingga mereka memberikan model “hidup yang baik” sekalipun mereka sama sekali tidak memiliki atau bahkan tidak tahu mekanisme apa yang bisa mengantar mereka kepada kehidupan mewah. Mungkin sekali sebagian kita merasa lega menyambut datangnya kebebasan, namun sementara juga boleh merasa pesimis menyambut datangnya keadilan. Sebab, banyak anggota masyarakat kita yang ternyata tidak peduli lagi apakah kedua-duanya memang diperlukan, karena jika di satu tempat ada terlalu banyak, itu berarti di lain tempat ada terlalu sedikit.


Ada kebutuhan mendesak akan adanya masyarakat yang jelas-jelas menyadari bahwa tidak ada kebebasan yang mutlak dan keadilan yang absolut. Masyarakat harus menghadapi kenyataan dan bisa berdamai dengan realitas. Kebutuhan tadi adalah kebutuhan akan adanya masyarakat yang seimbang yang menerima bahwa keadilan lebih penting daripada yang lain-lainnya, dan bahwa perlu adanya jenjang kebebasan.
<>

Lebih dari itu, rasa keadilan mencakup rasa dan sikap hormat terhadap berbagai kebebasan, sedangkan usaha mencari dan mengejar kebebasan harus dikendalikan oleh rasa dan sikap adil.
Kalau tidak demikian maka akan terjadi perbudakan bagi kebanyakan orang. Secara alamiah, kita semua adalah kreasi yang baru setiap harinya. Tetapi secara sosiologis kita adalah sebuah kemandegan. Oleh karenanya kebenaran kadang-kadang menjadi batu sandungan buat kita sendiri.

Sebab tidaklah mungkin kita mengakui suatu kebenaran tanpa menafikan bahwa di pihak lain adalah tidak benar.

Cita-cita berbangsa Jika kita mau sedikit meneliti Pembukaan Undang-undang 1945, disana, pada alinea ke-2 dan ke-3 sangat jelas termuat cita-cita berbangsa masyarakat Indonesia yang adalah masyarakat komunitarian dan sebagai bangsa, adalah bangsa bahari. Cita-cita berbangsa itu adalah :”agar supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, yaitu yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Di sana tercermin sebuah makna bahwa:

Negara dan Bangsa adalah pasar dunia, tidak perlu dibela-bela;

  1. Yang perlu justru building character: perasaan, pendapat, dan pemikiran;
  2. Masyarakat adalah realitas sosial yang individu-individunya bertanggung jawab atas kesejahteraan orang di sekitarnya, untuk mencapai kemerdekaan berbuat kebajikan;
  3. Pasar adalah pokok, ekonomi adalah keseimbangan;
  4. Masyarakat harus jauh dari pasar, karena pasar menguasai segalanya;
  5. Negara mengurus hal yang mati, rakyat mengurus hal yang hidup;
  6. Tanah jangan dikuasai militer dengan semua kesatuan organismenya;
  7. Indonesia bukan kumpulan, tetapi upacara; yaitu sebuah proses memperbaharui jiwa saat demi saat;
  8. Desa mawa cara-negara mawa tata, golong-giliging tekad, hanyakramanggilingan, guru bakal-guru dadi, adedasar pandam-pandom-panduming dumadi. Dari awal-akhir, lahir-batin, dari tingkat tafakur-tadzakur-tadzabur, pada tataran melik-melek-melok, dengan jalan hanawu segara, hanyinom pradopo, terus hanyokrokusumo.
Ciri pendekatan kebudayaan
  1. Realitas sosial sebagai alat kontrol politik; ekosistem sebagai alat kontrol hukum, dan budaya sebagai alat kontrol ekonomi.
  2. Supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, yaitu yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
  3. Gagasan yang lahir di benua selalau ekstrim;
  4. Gagasan yang lahir di kepulauan selalu seimbang; Nyepi di Bali, Nyadran di Jawa; dst …
  5. Ketuhanan Yang Maha Esa maknanya memelihara dan melindungi ciptaan Tuhan. Pembanguan kita?
  6. Kemanusiaan yang adil dan beradab maknawiyahnya menghargai perbedaan;
  7. Persatuan Indonesia adalah semangat ke-Nusantaraan, nusa diantara 2 benua yang memikul dan dipikul naturnya; kita adalah bangsa bahari yang semangatnya dipersatukan oleh tanah dan air; namun kebudayaan kita berhenti di daratan sehingga bangsa kita mabuk daratan, padahal kita ini bangsa bahari;
  8. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan merupakan kristalisasi dari keadaan azali bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris yang komunitarian, dimana agri kultura tak terpisahkan dari kultura animi. Pasar adalah derivasi, sehingga yang primer adalah paguyubannya.
  9. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengajak kita untuk hambeg adil parama arta, berbudi bawa leksana, mamasuh malaning bumi, mangasah mingising budi; untuk mencapai wirya, arta, wasis. Agar jangan sampai salah duduk dalam mendudukkan masalah.
Maka, sangat menarik menkaji tulisan Soedjatmoko yang sangat avangarde: “Pembangunan Ekonomi Sebagai masalah Kebudayaan” , seharusnya Model Ekonomi Kerakyatan harus mengacu pada 3 dimensi utama. Yaitu:

Ciri-ciri Pokok Ekonomi Kerakyatan
  1. Anti kapitalisme
  2. Anti imperalisme
  3. Anti feodalisme
  4. Anti liberalisme
  5. Anti diktatorisme
Watak Ekonomi Kerakyatan
  1. Membela yang lemah
  2. Berketuhanan
  3. Cinta persatuan
  4. Cinta kesatuan
  5. Cinta kemerdekaan
Bentuk Ekonomi Kerakyatan
  1. Melindungi segenap bangsa
  2. Melindungi segenap tanah air Indonesia
  3. Memajukan kesejahteraan umum
  4. Mencerdaskan kehidupan bangsa
  5. Melaksanakan ketertiban dunia

Ditulis oleh Budi Baik Siregar dan Soedarsono Esthu Sa’Tjiptorahardjo <>(Keduanya adalah pegiat Rekonsiliasi di bidang kebudayaan)

Tidak ada komentar: