Memahami Seni Kontemporer dengan jalan Menelusuri Sedikit Jejak Antropologis Seni Pertunjukan Wayang Purwa
"Seni adalah kristalisasi dari nilai-nilai artistik yang sublim.”
(Victor Hugo dalam buku: Seribu Tahun Teater).
Kata “seni” sendiri telah diberi makna banyak. Dalam mukadimahnya pada Drama “Cromwell”, Victor Hugo (1827) penyair dari Perancis itu, menulis: “Seni itu suatu tinjauan, suatu lensa. Semua yang terdapat di dunia dapat dan harus dicerminkan di dalamnya. Dengan tongkat wasiatnya, seni, membongkar kembali sejarah, seni memberikan bentuk yang serentak bersifat puitis dan alami, mengisinya dengan unsur-unsur kebenaran serta kejayaan yang melahirkan ilusi ... ilusi yang membangkitkan semangat para penikmat”. Jadi seni, adalah nilai estetis yang sublim.
Kira-kira seabad yang lalu, John Lubbock mengatakan bahwa "seni adalah satu-satunya elemen yang paling murni dan paling tinggi dalam kebahagiaan umat manusia. Ia melatih pikiran melalui mata dan melatih mata melalui pikiran. Seperti matahari memberi warna pada bunga, juga, seni memberi warna pada hidup".
Apa yang diamati Lubbock sangatlah tepat, seni adalah satu kesenangan yang besar dari hidup dan merupakan kebutuhan praktis. Tapi ternyata masih ada orang lain yang mengklaim lebih hebat lagi. Charles B. Fairbank, meyakini bahwa, seni adalah sesuatu yang paling memberi kepastian dan keselamatan pada peradaban. Bukalah galeri seni Anda untuk orang lain, dan Anda memberi kepada mereka keuntungan yang lebih besar daripada sekadar buku pendidikan; Anda memberi mereka kehalusan pada apa yang mereka inginkan yaitu menjadi orang baru yang sama sekali lain. Fairbank meyakinkan bahwa membuka diri untuk seni akan mempunyai pengaruh jangka panjang pada kehidupan, kebudayaan, dan peradaban.
Dari ketiga pendapat di atas, yang menurut saya tidak ada kontradiksi malah sebagai hal yang saling mempertegas, maka, seni sejatinya adalah sebuah wahana untuk mentransformasikan ideologi, ideologi yang hendak memuarakan kepastian-kepastian absolut dari hasil sebuah perenungan tentang tujuan hidup manusia.
Akan tetapi seni yang mampu menembus waktu, mengarungi jaman, dan melintasi universalitas ternyata merupakan seni yang “kontemporer” secara subtantif, bukan pada bentuk. Artinya bahwa isi menjadi sangat penting sebagai tulang punggung yang menegakkan keberadaan seni itu sendiri agar tetap terus berlanjut membawakan misinya yang luhur.
Sebagai sebuah tindak kreatif, seni yang berhasil, atau disapa oleh penikmat, ternyata seni yang tersaji sebagai “upacara bersama”, bukan seni yang dibuat dengan paradigma untuk ditonton. Tentu pendapat ini bisa saja menjadi bias apabila diletakkan dalam diskursus tentang “seni untuk seni”. Toh seandainya paradigma “seni untuk seni” tetap hendak dijadikan sebagai pijakan dalam kita memandang dan menguraikan hakikat dan tujuan seni itu sendiri, maka makna estétika tidak boleh dilepaskan keterhubungannya dengan etika. Jika etika mampu memberi makna pada hidup manusia, maka estétika, akan memberi warna pada hidup manusia. Oleh karena itu, jika cara pandang kita, kita mulai dari sana, mudah-mudahan perdebatan yang tidak perlu bisa dihindarkan.
Apa yang kontemporer?
Jika kontemporer adalah ideologi yang berpegang pada kekinian, maka seni kontemporer mestinya adalah sebuah karya seni yang kontekstual, yang maknanya harus memiliki nilai sebagai upacara bersama. Artinya seni itu sendiri harus mampu menguraikan problematik bersama dan mencari jalan keluar bersama-sama. Di bawah ini penulis sajikan dua persepsi tentang proses berkesenian:
“Bagi Teguh Karya, teater hendaknya dipandang sebagai upacara bersama. Dalam pandangan Teguh, teater di Indonesia adalah teater dandanan, polesan dan cenderung menjadikannya barang tontonan. Para pekerja teater mengarahkan perkembangan teater kita menjadi peristiwa yang harus ditonton. Kenapa mereka tidak melibatkan para penonton dalam upacara bersama-sama? Kalau penonton dilibatkan dalam upacara itu, Teguh yakin, teater itu punya misi tersendiri.
Dalam teater, tidak ada istilah partisipasi. Setiap manusia mengalami dan telah berteater. Tapi sepanjang mereka [maksudnya pekerja teater], masih menganggap dirinya pelaku dan orang lain menjadi penonton, tentu sangat sulit. Buang kesan penonton itu. Mereka adalah kita yang sama-sama merasakan apa yang kita rasakan. Sama-sama menginginkan apa yang kita inginkan. Ini yang terpenting. Ingat! Pada upacara ritual: di mesjid, di gereja, mereka dengan sendirinya terpanggil. Intinya! Jangan kita mendandani teater itu, cukup dengan sajian upacara! Konsepnya adalah: setia, jujur, dan mau belajar. Jangan asal menjadi perajin seni!”
Contoh lain adalah sebuah komunitas seni di Bali.
Pada komunitas Bajra Sandhi, pimpinan Ida Wayan Oka Granoka: proses kreatif kesenian ditujukan kepada, dalam bahasa tradisinya imen-imen pulina, seni sebagai persembahan. Gerakan spiritual dan gerakan budaya melalui seni ini, menjadi inspirasi banyak orang untuk menyadari bahwa seni pertunjukan sangat berkaitan dengan teks sastra, bahwa seni Bali sangat membutuhkan disiplin, kemauan besar dan kerja keras yang menjadikannya tidak sekedar estetis, tapi juga sebagai penghayatan hidup.
Contoh lain lagi misalnya, sebuah kado lukisan dari Amang Rahman untuk 25 Tahun Teater Populer berupa bulan mengambang di mega-mega, dan ada sajak yang ditulis pada bidang kanvas biru gelap langit malam:
Tadi malam
dalam tidurmu
Kau mengigau
menanam kembang
di halaman.
Esok paginya
bermekaran
di
hatiku
Amang Rahman
Jkt 24/10-93
Untuk
Teguh Karya
dan
Teater Populer 25 th.
Sajak Amang Rahman di atas adalah sebuah hasil dari penghayatan hidupnya sebagai seorang pelukis. Betapa sublimnya pengalaman estetis Amang Rahman dalam berteman dengan sesama seniman meski berbeda latar belakang dan bentuk kesenian yang digeluti. Amang seorang pelukis dan Teguh seorang teaterawan.
Jadi seni (pertunjukan) kontemporer mestinya adalah seni yang mentransendenkan cita-cita masyarakat kekinian melalui ikatan batin yang dijalinkan lewat sebuah pertunjukan. Ia mesti menjadi alat ekspresi persoalan-persoalan dan harapan-harapan masyarakat. Mengingat masyarakat yang berkeadilan merupakan tantangan masa lalu, kini, dan yang akan datang, maka ”keadilan” merupakan ”logosentris” bagi masyarakat kontemporer. Oleh karena itu seni kontemporer mesti peka terhadap gejala-gejala masyarakat yang tengah mengalami alienasi baik dari dirinya sendiri maupun dari lingkungannya.
Jika masyarakat moderen, yang, notabene adalah masyarakat yang bukan saja tinggal dalam megapolis-megapolis, tetapi juga dalam megastruktur, maka tesis yang paling tepat untuk menggambarkan masyarakat moderen adalah masyarakat yang tidak lagi mampu melakukan internalisasi. Artinya ia tak lagi memahami siapa dirinya dalam kancah modernitas yang sama sekali tak ia pahami juga. Relevansi, konteks, dan pijakan kesejarahan dirinya terputus oleh hegemoni kapitalisme yang merebut ruang gerak kehidupannya. Ketidakmampuan membatinkan dirinya membuat masyarakat moderen semakin abstrak namun tidak mampu melakukan abstraksi, sehingga ia mengalami kesulitan dalam eksternalisasi diri. Akibatnya ia tertarik ke dalam kutub eksternusnya tanpa bisa lagi kembali ke dalam batinnya sendiri. Jika ruang kesadaran tersebut dibiarkan terus mengalami kekosongan, maka masyarakat moderen akan semakin kehilangan relevansi dirinya terhadap penerusan kebudayaan yang seharusnya semakin menjadi tanggung-jawabnya. Di sinilah tugas seni kontemporer untuk menumbuhkan, mengembangkan media layanan komunikasi yang dekat dengan kebutuhan masyarakat, melalui karya-karya, nilai-nilai, atau gagasan-gagasan yang memampukan manusia berdialog, berdebat, dan berkreativitas dengan membebaskan diri dari belenggu nilai-nilai patriarkhis.
Dengan demikian, tugas seni kontemporer tak lain adalah: mengenali, menggali, merekonstruksi, menganalisis, mengartikulasikan, mengkritik, mengapresiasi, mengemas, dan memediakan apa yang tengah menjadi kegelisahan masyarakat moderen untuk paling tidak dicarikan jalan tengah emas, via media aura, melalui penyingkapan Realitas Indonesia di balik gunung, di lembah, di padang rumput, di tengah hutan, di tengah laut, di setiap tempat yang kaya makna dan magis. Masyarakat moderen harus dibantu mengatasi disfungsi komunikasi agar dapat menyandarkan diri pada Realitas Indonesia. Sebaliknya sektor alamiah yang kaya ide dan perspektif penting didorong mengorganisir diri, sehingga menemukan kambali élan vital-nya. Intinya, kekuatan sektor moderen [infrastruktur] mesti dipersambungkan dengan kekuatan sektor alamiah [ide dan perspektif]. Di sini, seni kontemporer diharapkan mampu menjadi mak comblang, perantara, untuk mengkolaborasikan moderenitas dan naturalitas agar mencuatkan ragam dan perspektif baru.
Karena itu, seni kontemporer ditantang untuk menemukan model komunikasi yang rekonsiliatif dalam lapangan kesenian, melunakkan kontras dan mendekatkan sentimental unsur dual, yaitu modernitas dan naturalitas, agar menjadi sebuah karya pertunjukan yang mampu mengembalikan kesadaran masyarakat moderen ke dalam sarangnya.
Dalam masyarakat moderen, romantisme diselesaikan begitu saja tanpa corak didaktis, sehingga perumusan problematik, tindak perenungan, proses menemukan gagasan, dan merefleksikan pengalaman tidak tersemaikan sebagai proses dialektika. Maka, dinamika yang seharusnya merupakan hasil refleksi atas pengalaman sosial dari panggung apresiasi publik tidak pernah lahir. Kemandegan tersebut harus diatasi melalui dialog kultural yang mampu mensinergikan antara yang formal dan yang material.
Mencari antitesis
Dalam seni (pertunjukan) pada umumnya, hal yang bersifat formal adalah kesenian itu sendiri, sedangkan yang bersifat material meliputi ideologi, cita-cita atau suprastruktur, dan infrastruktur (sumberdaya manusia, keilmuan, sarana-prasarana). Dalam seni tradisi seperti wayang kulit, masalah infrastruktur telah selesai begitu sebuah perkumpulan mengikrarkan diri. Sedang pada tataran suprastruktur adalah menjadi tugas sang dalang untuk selalu memperbaharui tafsir dan cara mentransformasikan lakon (sanggit) agar selain enak ditonton juga kaya akan ”piwulang”. Menjaga kontekstualitas dengan persoalan-persoalan makro maupun mikro telah mentradisi dari jaman ke jaman. Sehingga pertunjukan wayang kulit sebenarnya merupakan alat yang sangat ampuh untuk mentransformasikan masalah-masalah masyarakat kontemporer. Stanislavski, aktor dan sutradara termasyhur dari Rusia berucap:
”Direction is a job, a craft, a profession, and at best, an art. The director must be an organizer, a teacher, a politician, a physic detective, a lay analyst, a technician, a creative being. Ideally, he should know literature (drama), acting, the psychology of the actor, the visual art, music, history, and above all, he must understand people. He must inspire confidence. All of witch means he must be a “great lover.” The role of director is becoming more and more complex. Politics is an integral part of our lives now. This means that the director’s horizon includes the government’s structure, the problems of our society. It means that we, the directors of the theatre, have much more responsibility and must develop a broader way of thinking. A director cannot limit his role to being a medium between author and audience. He cannot be just a midwife, merely assisting at the birth of the performance. The director must be independent in his thinking and must arouse with his work the ideas necessary to contemporary society.”
Kutipan di atas menunjukkan bahwa seni pertunjukan di belahan dan ujung dunia manapun memiliki kesamaan pendekatan. Seni mendalang yang mewakili dramaturgi Jawa (wayang purwa), memiliki kesamaan dengan Stanislavski (yang mewakili dramaturgi barat). Bedanya dalam dramaturgi barat pertunjukan berbasiskan pada ruang, waktu, dan peristiwa, pada wayang kulit bagaimana meruang, mewaktu, dan memeristiwa. Kesamaan semiotika tersebut menandakan bahwa ada masalah universal yang harus dipecahkan oleh seni kontemporer bukan hanya pada perluasan wawasan saja melainkan sampai pada pembentukan paradigma yang bisa memberikan sumbangan secara investigative terhadap proses penemuan, invention.
Dalam pertunjukan wayang purwa kita mengenal pathet nem, pathet sanga, pathet lindur, dan pahtet manyura. Pathet, selain membagi waktu juga membingkai ruang dan peristiwa. Pada pathet 6, dari jam sembilan malam sampai jam duabelas malam adalah ruang tempat membeberkan persoalan. Dan yang menjadi persoalan adalah sejarah. Sejarah di sini bisa sejarah tokoh tertentu, sejarah negara tertentu, atau sejarah klan, wangsa, tertentu. Pathet 9, jam 12 malam sampai jam 2 dini hari, pathet lindur dari jam 2 dini hari sampai jam 3, pathet manyura dari jam 3 sampai jam 5 pagi menjelang subuh.[2] Jadi dalam pertunjukan wayang purwa, peristiwa membingkai dialektika, dan waktu (pathet) berfungsi mentransformasikan dinamika. Di sana, prolog, logos, dan epilog telah terbakukan secara tradisi tetapi anehnya malah mudah mencair dan masuk ke dalam ruang kontemporer dengan sangat mudah. Hal ini menandakan bahwa aras natural (untuk menghindari kata tradisi), yang dalam realitas moderen merupakan wajah lama konvensi seni tradisi, justru bisa dibawa ke dalam nilai-nilai baru yang penuh kemungkinan. Lingkaran konvensi tradisional yang begitu kokoh dan sensitif, ternyata dapat disentuh naluri kebebasan moderen. Dengan kata lain, pertunjukan Wayang Purwa yang sudah dimulai berabad-abad lalu ternyata selalu bisa beradaptasi dengan kemajuan peradaban dan teknologi, dan selalu berwajah kekinian. Berikut petikan lain yang tak kalah penting.
(”Wayang, mempunyai peranan besar dalam mewujudkan rekonstruksi kosmis, selain cerita dan permainan. Wayang merupakan ritus konstruksi prahistoris dari sebuah negara dan masyarakat. Pertunjukan wayang dianggap merupakan rekonstruksi perwahyuan rahasia-rahasia semesta terhadap masyarakat yang menyelenggarakan wayang. Dalam pertunjukan itu, masyarakat mengingat kembali arwah leluhur yang telah mengatasi penderitaan-penderitaan dan kemudian hidup dalam alam kelanggengan. Menurut Prof. Hidding, pertunjukan wayang bertujuan untuk mengadakan hubungan dengan kuasa-kuasa yang menguasai kehidupan. Dalang menghantar masyarakat penanggap beserta segala makhluk untuk berhubungan dengan para roh, kehidupan gaib dan dalam pewahyuan rahasia semesta alam, manusia memasuki perenungan yang mendalam tentang kehidupan. Dalang dalam pertunjukan itu mempunyai peranan penting. Ia adalah penyaji refleksi kehidupan masa lampau, masa kini dan petunjuk untuk masa depan bagi masyarakat. Refleksi itu disampaikan kepada masyarakat (penonton). Dalang juga membeberkan kritik, ramalan dan analisa kepada masyarakat lewat lakon-lakon yang dipegangnya. Masyarakat mendengarkan uraian Ki Dalang, bukan sebagai mendengarkan orang yang pandai berbicara, melainkan lebih sebagai mendengarkan pewahyuan dari alam gaib tentang kehidupan yang sudah, yang sedang dan yang akan dialami masyarakat.”)[3]
Dalam kashanah tari jawa misalnya, ada tataran penguasaan teknis dari tahap birasa, birama, ke biraga. Dalam konstruksi teori: birasa hanya bisa dicapai melalui penguasaan tradisi, birama dicapai melalui penguasaan modernitas (metoda yang efektif dan efisien), dan biraga memadukan keduanya. Pada proses ini akan terjadi ketegangan. Persoalannya bagaimana kita bisa meluruhkan ketegangan itu?
Caranya adalah melalui spirit budaya (tradisi) itu sendiri. Seni kontemporer harus terus-menerus berusaha menumbuhkan konvensi, transformasi, rekonsiliasi, dan inovasi, baik secara teknis maupun dalam hal pengembangan wawasan. Dan di atas kedua gabungan itu, ”sang seniman harus tahu apa yang terbaik yang bisa dia berikan kepada masyarakat dan negerinya yang dia kenal betul. Bakat, ilmu, dan wawasan yang telah dimiliki akan tetap menopangnya di dalam menjalankan intelektualitasnya sebagai seniman. Sehingga, seni yang dibuat lewat kesadaran semacam ini akan terasa dekat dengan negeri dan masyarakat dimana seorang seniman berfungsi menjadi teman seperjalanan mereka. Fungsi ekonomi mengikuti dari belakang.” (Teguh Karya dalam buku 25 Tahun Teater Populer: 1968-1993)
Jika demikian halnya maka tugas seni kontemporer haruslah mampu membangun ”kesinambungan” proses membuat kesenian tradisi agar selalu menemukan nilai-nilai barunya; agar ia hadir bukan sebagai barang antik kehidupan moderen, tetapi sebagai cermin proses sejarah dan sebagai roh tindak laku kontemporer.” (Suka Hardjana dalam buku: Musik Antara Kritik dan Apresiasi, hal. 64: Penerbit Buku Kompas, Jakarta Juli 2004). Disini jelas sudah apa yang menjadi misi seni kontemporer, tidak lain adalah membantu masyarakat moderen menemukan kembali kesadarannya. Jika diantara mereka ada yang mampu menemukan tujuan, martabat, cinta kasih, dan kegembiraan, yang tidak lain adalah “hidup yang baik”, itu berarti masih ada harapan bagi kita untuk meretas jalan ke arah kemajuan. Jika proses Menjadi Indonesia diasumsikan sangat ditentukan oleh dinamika sektor moderen, dan jika sektor moderen merupakan arena hegemoni yang selalu terbuka sepanjang zaman, maka hegemoni dapat menjadi salah satu strategi pokok mendorong tumbuhnya “campur sari” Kebudayaan Indonesia. Kekayaan ide dan perspektif di sektor ”natural” yang sebagian besar mungkin telah berantakan atau terkoyak-koyak, mestilah diusung memasuki arus utama wacana di sektor moderen.
Kesimpulan
Sebagai penutup saya akan kutipkan Kisah Odiseus:
"Odiseus, raja Ithaka, demikian kisah yang ditulis penyair Homerus itu, bermaksud kembali ke kampung halamannya seusai perang Troya. Dalam perjalanan pulangnya, dia beserta para pengiringnya mengalami tantangan demi tantangan.
Demikianlah, ada para Sirena yang memikat dengan suara merdu, para pemakan teratai, raksasa bermata satu Polifemus, dan seterusnya. Pada awalnya mereka selalu terseret dalam pesona itu, tapi berkat kecerdikan Odiseus, mereka terbebas dari pesona itu, sampai akhirnya mereka terdampar ke kampung halamannya yang tidak lagi seperti dulu. Odiseus yang tidak kerasan lagi di kampung halamannya, memilih untuk bertualang entah ke mana."
Ini adalah kisah tentang "rindu kampung halaman". Namun ada hakikat yang dalam pada tokoh Odiseus. Ia idiom pengembaraan subyektivitas yang mengarungi samudera fenomena modernisasi, yang terus-menerus membebaskan diri dari pesona mitis dengan penyangkalan diri untuk kembali ke daratan makna yang ternyata tidak juga dicapainya. Mitos ini merupakan kisah tentang "homesickness", rindu rumah yang tak tersembuhkan yang sekaligus mendorong pengembaraan tanpa akhir. Pengembaraan itu, kisah dalam mitos itu, adalah sejarah. Setiap kali subyektivitas mampu mengatasi keterpesonaannya, dia merasa lega, namun perasaan lega ini diiringi dengan perasaan hampa ketercerabutan.
Demikianlah moderenisasi adalah emansipasi yang disertai erosi makna, pembebasan dari mitos yang berubah menjadi dominasi rasio mental. Alur pengembaraan subyektivitas moderen ini tak kurang dari jalin-menjalinnya mitos dengan logos secara silih berganti.
Hanya soalnya, dalam modernisasi, kesukaran mencapai momen sintesis ini menghasilkan berbagai macam pengalaman negatif, seperti: alienasi, hilangnya makna, impersonalisasi, disorientasi, dan seterusnya.
Kutipan di atas sangat pantas untuk dijadikan titik tolak memahami masyarakat moderen yang rindu kampung halaman namun kesadarannya tak bersarang. Seni kontemporer harus mampu memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang lahir dari gelombang pasang-surut manusia moderen yang mengalami erosi makna, agar seni bisa mengambil fungsi dan peran sebagai cerminan yang membawa sikap jujur tentang suatu masyarakat. Seni kontemporer harus menjadi wakil yang bisa menguraikan kepentingan dan persoalan spirituil manusia moderen sehingga memenuhi fungsi sosial dan fungsi budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, kita mesti menguasai budaya, sebab seni kontemporer pada dasarnya adalah bagian dari kerja teknik dan kesenian sebagai daya ungkap budaya.
Teater Populer, 18 Agustus 2007
[1] Penulis adalah pendiri Sekolah Maya, Guru Tetap pada Bengkel Teater Rendra, pegiat dalam Program-program Rekonsiliasi. Dan sekarang tengah menulis: “Konstruksi Teori Sejarah Pemikiran Teguh Karya dalam Mewarnai Nasionalisme Indonesia.”
[2] Pembagian waktu pathet ada beberapa pendapat yang berbeda, namun salah satu sumber menyebutnya seperti itu.
[3] Mca. Maharsono Probho: Segi Sosio-Kultural Masyarakat Pedesaan Jawa Selayang Pandang. Dalam Majalah DRIYARKARA N0.: 2 & 3, Tahun XI, Mei 1984, halaman 60.